28.2.13

pasar malam dan tukang sapu.

pasar malam tutup pagar.
tukang sapu bersih-bersih sisa tangkai gulali bertebaran di atas tanah.
ada pula putung rokok yang banyak jumlahnya.
serta sisa plastik-plastik minuman yang tadinya berisi sirup murah, kini terserak di mana-mana.
lampu tenda sudah padam semua.
sisa lampu merah, hijau, biru berkelap-kelip bergantian di atas kepala.
petugas loket beres-beres bekas sobekan tiket.
Komidi putar, jadi kerangka ban sepeda raksasa di kegelapan. Tak lagi ceria seperti gula-gula berputar ketika tadi pasar masih buka.
kuda-kudaan sudah masuk ke kandang.
keriaan sudah selesai.
tukang sapu bersih-bersih sisa cerita.
becek masih menggenang di mana-mana, tadi sempat gerimis dan para pengunjung tidak keberatan rambutnya jadi klimis.
tukang sapu bersih-bersih pasar malam dalam bungkam.
kepalanya masih mendendangkan dangdut yang tadi dibawakan orkes keliling Abang Sayang Abang Malang.
kini panggung kosong, tidak meriah seperti tadi banyak lelaki gerah melihat sang biduan jadi bromocorah birahi yang menggelinjang resah.
tukang sapu bersih-bersih sampai ke ujung lapangan.
di balik pohon, ia menemukan sekuntum bunga.
ia yakin tadinya merekah, kini entah...
bunganya layu.

13.2.13

Penari yang tidak lagi sendiri, semoga.

Siapa sangka kamu akan hadir menjadi ia yang menyeimbangkan kaki?
Menggulirkan ragu di sela jemari bermain pasir di pesisir paling tepi.

Menepis semu dengan saling meneriakkan nama pada semesta.
Bersorak gempita bahwa kamu pun aku tidak cuma ada di dalam bayangan saja.
Menggenggam tangan tidak hanya di bawah selimut malu-malu.

Jarak.

Masih jalang menghadang. Menahankan sendu rindu meradang.
Tapi kita tidak mundur kemudian layu, mematikan lilin asa yang tinggal satu.

Kita menarikan pelukan lewat mata, saling dekap tanpa harus berbanyak aksara.
Kecup kecap-kecap sajak basi, lewat cengkrama kepala.
Kamu lebih memilih diam dan biarkan udara menyuarakan bahasanya.

Aku ditelanjangi kamu lewat mata,
Kamu menjura padaku melalui sungging senyum.
Mengulurkan tangan serta hati yang terkulum.
Kemudian haru meranum.

Dadaku kini berdentum, ia ngeri.
Ia sudah terlalu rapuh untuk dihadapkan pergi yang lain lagi.

Kaki sudah lunglai tak sanggup berlari.
Tarianku melemah ketika kau mendekat, aku sengaja, tidak ingin kamu terlewati.
Langkahmu tinggal beberapa senti.
Tas gending tersampir di punggungmu, aku harap isinya sebuah pasti.

Menarilah bersamaku,
lengkapilah cacat sempurna gerakanku.
Aku penari separuh hati,
separuhnya lagi, di bawa seseorang yang kelak akan tiba tak lama lagi.

Mungkin sebenarnya sejak awal memang kamu,
bukan dia, bukan siapa.
Hanya saja, terkadang memang butuh sebuah perjalanan,
sebelum akhirnya berhenti, dan menemukan.

8.2.13

Pertemuan pertama dengan Laut Karibia berpasir Hazelnut cokelat muda.

Terhadap,
Kamu, laki-laki asing dalam jarak 3 langkah besar-besar dari tempatku.
Apa terbersit di kepalamu ketika aku muncul di hadapanmu tiba-tiba?
Menukar pandangan sedetik dua detik, pun bicara sepatah dua patah kata, kemudian aku kembali ke tempatku semula.
Ketika kamu tenggelam lagi di kesibukanmu, apa yang ada di dalam sana?
Tidak ada apa-apa, atau sekadar kehadiran selewat saja?

Terhadap,
Kamu, laki-laki asing yang kini sedang meremas rambut cokelat muda kacang hazelnut. Boleh ku bantu untuk apapun itu?
Menarikan jemariku di permukaan kulit kepalamu, lalu membelai perlahan.
Setelah itu aku akan berlalu lagi, kembali ke tempatku semula.
Ketika kamu tenggelam lagi di kesibukanmu, apa yang ada di dalam sana?
Sentuhanku merasuk ke kepala atau sekadar angin semilir belaka?

Terhadap,
Kamu, laki-laki asing yang kini sedang mencuri-curi tatap dan aku menangkapnya. Di dalam biru matamu, bolehkan ku mencari senja di sana.
Pasti layung akan indah terpantul di permukaan bening pucat laut milikmu itu.
Duduk di kelopak matamu, istirahat sejenak hingga senja makam berganti malam.
Lantas aku akan kembali ke tempatku semula.
Ketika kamu tenggelam lagi di kesibukanmu, akankah kamu menghentikannya dan mulai beranjak, mengubur jarak dan tiba di tempatku berada?
Atau hanya sudah, selesai. Sampai saling tatap kemudian kau pergi, dan aku tidak akan pernah bertemu denganmu lagi?

Terhadap,
Kamu, laki-laki asing yang kini sedang merapikan barang-barangnya.
Terimakasih sudah menjadi sekisah lagi cerita di bulan Februari.
Ternyata pertemuan kita sependek bulan ini.



Tertanda,
Gadis seberang meja.
3 langkah besar-besar dari kursimu.

6.2.13

Sajak Jangan

jangan ingatkan aku tidur.
ingatkan aku jangan lupa nyalakan beker tiap pagi.
gantinya, aku ingatkan bahwa aku menyukaimu.
jangan ingatkan aku makan.
ingatkan aku piring-piring bekas menyajikan janji belum di cuci.
gantinya, aku ingatkan bahwa aku akan memelukmu.
jangan ingatkan aku mandi.
ingatkan, bagaimana caraku mencintaimu.
gantinya, aku ingatkan bahwa aku mencintaimu sewacana mandi.
lalu kucium pipimu dan pergi.


Jimbaran, 2013.

5.2.13

Bandara rasa apa?

bagaimana rasanya bandara kala malam?
adakah ia berbau rindu dingin terlipat rapi di saku kemeja?
ataukah basah air mata di lantai-lantai dingin tempat mereka melepas saudara pun kekasihnya?

bandara malam mungkin rasa sepi.
seperti ketukan kenangan di kening dan bulir hujan hulu mata yang jatuh di pipi.

bandara malam bisa pun rasa elegi.
menyimpan tangis pun tawa juga jutaan tepuk pundak pun peluk hangat sejak pagi tadi.
membisikkan pada telingamu yang terduduk seorang diri menanti penerbangan ke anu.

bandara malam barangkali rasa senja
lampu-lampu kuning, bias di mata sayu.
sewarna tirta layung berembun yang akrab mengisi gelas kau dan aku.

bandara malam ini, malam nanti. Pagi ini, pagi nanti ada pun sepanjang hari.
boleh jadi rasa kita,
persis. serupa transisi. Mampir selewat kemudian permisi.