3.3.13

Kama Raga

"Menikah denganku, maukah?"

Kama tersedak kopi yang baru ia tiup-tiup. Cairan hitam yang masih agak panas membakar lidahnya. Ia meletakkan cangkir putih pualam kopi kembali ke piringnya, memandangi pria di hadapannya. Kedai kopi ini mendadak sunyi, padahal tadi ramai sekali. Mungkin telinga Kama yang mendadak tuli karena pertanyaan yang dilontarkan pria tadi.

Raga, pria yang sudah ia kenal sejak masih menginjak bangku Taman Kanak-kanak. Kehidupan Kama adalah kehidupan Raga. Sejak kecil mereka berdua, bahkan satu sekolah hingga SMA. Kama tahu pada siapa Raga jatuh cinta hingga kemudian patah seadanya. Pun Raga tahu dengan siapa Kama pertama kali memberikan bibir kenyalnya. Serta siapa yang menjamahi tubuh Kama ketika mereka liburan ke Pulau Karimun Jawa bersama-sama.
Menikah adalah salah satu hal yang sama sekali jauh dari kepala Kama. Baginya, mereka sudah lebih dari sebuah pernikahan. 

"Untuk apa menikah?"
"Untuk memuaskan dogma yang ada." Jawab Raga.

Kama geleng-geleng. Selama ini ia pikir, mereka sudah dengan sempurna menjadi seorang sahabat bahkan saudara, tidak akan pernah ada lebih dari apa yang mereka sebut teman sejak lama. Tidak ada cinta meski nyaman selalu hadir bahkan ketika mereka diam dan tidak melakukan apa-apa. Pun tidak ada nafsu meski kadang hanya ada di dalam ruangan berdua saja, tidak lebih dari pelukan-pelukan untuk menenangkan kala salah satunya dirundung kesedihan. Meski hadir pula pertengkaran demi pertengkaran, selalu ada kembali serta sambut rentang pelukan. 
Tidak ada yang pernah benar-benar saling pergi. Jika satu hilang, salah satunya lagi meninggalkan jejak agar satunya dapat kembali pulang.
Sudah sedemikian lamanya mereka menjalani hal itu, hingga beberapa orang bahkan pacar-pacar mereka cemburu. Namun Raga maupun Kama tidak merasa ada yang aneh dengan hubungan mereka, sejak dulu, ini yang mereka lakukan. Sejak dulu ini kenyamanan yang mereka dapatkan. Sejak dulu, meski pacar sudah berganti dari muda hingga tua sudah di ambang pintu. Mereka selalu seperti itu, pulang yang tidak pernah hilang.

"Kenapa kamu tiba-tiba mau menikah?" Kama masih tidak puas. Pertanyaan dan ajakan nikah dari mulut seorang Raga yang tiba-tiba membuat jantungnya lari keliling kepala.

"Aku mau pulang." Jawab Raga. Matanya sendu, suaranya lelah ketika 'Pulang' terapal dari bibirnya.

Kama tersenyum, contoh senyum seperti teh manis hangat buatan Ibu sebelum kamu berangkat sekolah dulu,"Kamu sudah pulang. Bahkan tanpa harus menikah."

"Aku tahu. Seperti yang aku bilang tadi, memuaskan dogma." Ulangnya lagi. Raga mantap sekali, sorot matanya tegas menyelami manik mata Kama yang jantungnya sekarat hampir tidak bisa berdenyut karenanya.

"Dogma puas, norma? Tidak. Kamu tahu kita tidak bisa menikah di sini." 

"Memang tidak di sini."

Raga mengeluarkan sebuah amplop cokelat besar dari dalam tas kerja yang ia bawa lalu menyodorkannya ke dekat tangan Kama.

"Bukalah." Perintah Raga.

Tanpa banyak tanya, Kama meraih amplop cokelat itu dan membukanya.
Mata Kama berbinar begitu menarik lembar persegi panjang pertama yang ia temukan di antara kertas-kertas lainnya. Sebuah tiket. Ke Amsterdam.
Bulir haru berkubang di sudut matanya, lama-lama jadi sungai sampai ke sudut bibir yang kini melengkungkan senyum bahagia.
Di seberang meja Raga tersenyum manis. Ia meraih ujung jemari Kama, ia bawa ke atas meja di balik gelas-gelas kopi mereka. Mata raga menjerat Kama. 

"Menikah denganku, mau kah?"

Kama mengangguk.
Mereka berpelukan lewat tatapan mata. Tidak dengan lengan dalam dekapan sebagaimana umumnya, karena Jakarta bukan tempat yang begitu akrab bagi mereka.

2.3.13

Kedai dan Pembicaraan tidak santai.

Gumam riuh rendah terdengar dari segala penjuru kedai kopi di bilangan Mertasari. Kecuali satu, dari meja di tengah tempat nyaman itu. Dua cangkir kopi duduk dalam diamnya, tidak ada lagi asap mengepul dari dalam cairan kelam yang masih penuh di dalamnya. Kedua manusia ini tidak bergeming bahkan terlihat ingin menyentuh kopi yang sudah tersaji sejak ratusan detik yang lalu. Mereka bahkan tidak bicara sepatah kata pun sejak tadi. Kontras sekali dengan manusia-manusia yang terlihat hidup di sekeliling mereka. Seolah mereka sudah menyatu bagai kursi kayu yang mereka duduki, kaku.

"Jadi sama sekali tidak bisa?" Akhirnya pecah juga hening di antara mereka. Semesta menghela nafas lega ternyata salah satunya masih manusia yang bisa berbicara.

"Tidak. Sejak tadi malam aku sudah bilang tidak bisa." Jawab manusia di hadapannya, suara yang keluar bagai cuaca Eropa di bulan Desember. Dingin, menusuk.

"Berikan aku alasannya." Setengah memaksa ia mendekatkan tubuh pada si lawan bicara. Cangkir kopi disingkirkan kesamping. Jelas sudah ia memang tidak ingin minum apa-apa. Yang ia mau adalah jawaban atas ulat-ulat pertanyaan yang lapar di dalam kepalanya.

"Aku sudah katakan, aku tidak bisa lagi harus terus bersembunyi. Lagi pula kamu tahu sendiri sebentar lagi aku akan menikah dengannya. Aku rasa itu sudah jelas." Akhirnya gelas kopi tersentuh, segera setelah itu, ia meraih gagang cangkir, menyesap sedikit sekaligus menghembuskannya lewat hidung. Aroma kopi campur buah menguar di dalam mulut, di hirup oleh kepala yang sedang berjelaga dalam nelangsa.

"Kemarin-kemarin kenapa kamu bisa melakukan apa yang sudah kita lakukan? Dan mendadak semua ini menjadi tidak masuk akal bagimu? Kenapa?" Ia menatap mata di balik cangkir kopi.

"Karena aku mau menikah." Tegasnya sekali lagi seraya meletakkan cangkir kembali ke meja.

"Aku kira meski kamu telah menikah, itu tidak akan pernah bisa memisahkan kita. Kamu tahu bahwa kita akan selalu baik-baik saja dan aku mau kamu madu dengannya. Bahkan jika kamu punya anak kelak, aku akan menyayangi mereka seperti darah dagingku sendiri. Kamu tahu aku mampu... Kamu..."

Ia muntahkan gulana di atas meja, cangkir kopi miliknya sudah sepenuhnya terlupa. Sebuah tangan menggantung di udara. Tangan milik lawan bicaranya yang kini terlihat sudah ingin segera lari ke mana pun ia tidak berada. Suara ponsel terdengar sayup, dalam tasnya. Kata-kata belum usai menggantung risau di udara.

Sang lawan bicara merogoh tas di sisi kirinya meraih ponsel keluar.
"Ya, Sayang?"
Jeda.
Ia menatap lawan bicara di hadapannya. Mata berkilat antara cemburu dan sendu. Dulu suara manja itu juga memanggilnya seperti itu, tidak dingin seperti kopi yang teronggok di sisi meja paling kiri.

"Kamu sebentar lagi sampai?"

Hening.

"Iya aku masih disini."

Jeda lagi, ia kini tersipu. Entah apa yang dikatakan keparat di saluran telepon itu. Ia sama sekali tidak dianggap, ia kini si cangkir kopi yang terabaikan.

"Hahaha. Ah, kamu. Kayak nggak tahu kami aja, biasalah... Aku tunggu kamu di lobby ya. Sampai bertemu sayang. Bye, love you."

Matanya sudah beranjak dari kedai kopi sejak tadi. Sudah pergi dengan langkah besar buru-buru, turut serta ia bawa hati dan segala yang pernah terbagi untuknya.

"Aku pergi, Rama sudah akan tiba. Sampai bertemu nanti di pernikahanku."

Kini tubuhnya yang beranjak pergi dari kursi kayu di hadapannya tanpa ia menoleh lagi untuk kedua kali. Seolah mereka memang tidak pernah ada kisah apa-apa. Dan tubuh mereka tidak pernah saling jamah di malam sebelum hari ini.

Menyakitkan sekali rasanya, melihat seseorang yang pernah kamu kira selamanya menghempasmu begitu saja, tanpa terlihat sedikit pun ia juga merasakan luka yang sama.
Ia yang sejak tadi menahan isak menatapi punggung yang lekuknya sangat ia kenal, rambut bergelombang jatuh di pundak kala tubuhnya melenggang, serta kaki jenjang berbalut stiletto hitam kesukaannya menghunus hati dalam diam. Laranya menjerit sunyi. Bahkan frustasi saja jadi frustasi sendiri.

Kopi miliknya penuh tidak tersentuh, punggung kekasih lawan bicaranya sudah tidak terlihat lagi.
Ia melambaikan tangan mengisyaratkan bon milik mereka berdua. Seorang lelaki muda mendekatinya, seraya membawa nampan berisi kertas.

"Yang kopi satu tadi sudah di bayar, tinggal punya Mbak saja yang belum."

Aku tertohok, bahkan ia tidak membiarkanku membayar kopinya lagi.