Kepada, kamu.
Nada yang mendesir di nadiku.
Aku jengah sudah dengan kata semu.
Ku harap bukan dari kamu.
Kepada, kamu.
Desau angin pada telingaku.
Yang berbisik lembut hingga merasuki kalbu.
Ku harap kamu tak hanya sekadar bermain api menjadikanku abu.
Kepada, kamu.
Lengkung yang menghiasi wajahku.
Aku membiarkan kamu membuatku bahagia tak hanya di bibir. Mata pun hati.
Ku harap kamu sadar, aku mencintaimu.
Saja.
30.11.12
28.11.12
Sesuatu Tentang Rumah
Ibuku adalah rumah.
Senyumnya adalah halaman.
Tawanya adalah beranda.
Tangisnya adalah loteng.
Ibuku adalah kamar.
Ketiaknya adalah selimut kesayanganku.
Tangannya adalah gulingku.
Lengannya adalah bantalku.
Kakinya.. jejakku kembali pulang.
Elegi dalam surat untuk Ibu.
Hai, Bu. Ini ku ketik dari jarak ratusan kilometer dari
tempatmu.
Kau pun tak akan pernah tahu ada untaian kata ini dariku.
Ini akan menjadi kalimat panjang yang intinya hanya satu;
Aku rindu.
Kau dan aku satu kepala , Bu. Kerasmu pun serupa dengan
kerasku.
Dan seringkali kita berdebat seru.
Berakhir tawa atau kau cemberut padaku.
Seringkali kubuat kau gemas karena sikapku.
Sengaja, Bu. Aku ingin menggodamu.
Agar kau akan segera merindukanku ketika aku jauh darimu.
Bu, kita sedang sama-sama berjuang.
Di tempat berbeda berjarak panjang.
Tak bisa saling pandang pun saling tatap hingga petang.
Tak bisa dengan mudah saling kunjung kala rindu menyerang.
Bu, gadis kecilmu sedang berusaha tegar.
Melawan gerimis pun badai besar.
Sebagian dirinya hanya ingin berlari pulang ke pelukanmu
yang lebar.
Tinggal di sana hingga Tuhan berkata hidupnya sudah kelar.
Tapi kenyataan akan selalu berbeda dengan angan yang tak
masuk nalar.
Bu, aku rindu lingkar lenganmu saat kau memangku aku
Bak kembali menjadi bocah kecilmu aku menyurukkan kepala
diantara lehermu.
Diantara rambutmu yang wanginya selalu begitu. Tak berubah
sejak dulu.
Bu, sadarkah gadis keras kepala ini mencintaimu?
Bu, aku rindu mendengar ceritamu.
Kau tahu? Semua kisah tentang apapun menjadi menarik ketika
itu keluar dari mulutmu.
Disela asap rokok kita yang tak serupa.
Kisah untuk kita tertawakan pun renungkan untuk pelajaran
hidupku.
Bu, sadarkah ketika kau bercerita kau terlihat bahagia?
Ibu, aku adalah anak pada umumnya.
Menginginkanmu bahagia. Meski terlalu sering aku membuatmu
memijat kepala.
Bu, aku anak nakalmu.
Tetapi dengan segenap kenakalanku. Aku menyayangimu.
Sungguh, Bu.
Sungguh.
Sebenarnya segala aksara acak ini hanya berinti satu.
Elegi ini untukmu.
26.11.12
Aqua? Aku serius.
Aku adalah gadis yang mati di laut.
Lahir jauh dari laut. Tetapi tetap kembali ke bibir laut.
Untuk sekadar duduk dan menyeruput sisa-sisa rindu yang
ditinggalkan semut.
Ketika manismu mencecerkan madunya di ujung pesisir ketika
bibir terpagut.
Aku adalah gadis yang mencintai pasir.
Selayaknya kaki-kaki liar ini bergerak bak disihir.
Menjejaki butir-butir menggelikan dibawah kakiku yang
bergulir.
Seperti dibelai rindu semu yang semilir.
Aku adalah gadis yang terlalu sering mendatangi pantai.
Kulitku kecoklatan di tampari sinar matahari yang sedang
melantai.
Aku pun. Matahari di langit, aku melantai di pantai landai.
Menari tak tahu diri, dengan gerakan liar jauh dari gemulai.
Aku adalah sang penari di pelabuhan usang.
Dalam diri ombak sedang pasang, sebentar lagi tsunami
datang.
Menghentak kaki dan tangan liar. Melekukan tubuh seolah tak
bertulang.
Menunggu kamu yang sebentar lagi akan tiba, berlabuh. Hatiku
bergejolak riang.
Aku adalah pelukan di ujung samudera.
Yang mendamba lenganmu untuk ku dekap selamanya.
Membisikkan senandung tentang aku, kamu. Lalu berakhir di
bibir dan terucap,”Kita.”
Kemudian mencintaimu secara nyata.
Aku adalah gadis yang mati di laut.
Lautmu.
22.11.12
Gra.
Gadis ini, Citrani.
Usianya berjuta tahun lebih muda dari Bumi.
Ia pernah suatu ketika mencinta.
Di sela larinya mengelilingi jagat raya.
Citrani gadis yang mudah jatuh cinta.
Hanya jatuh saja.
Setelah luka. Ia pergi seolah tak ada apa-apa.
Belum ada yang mampu menorehkan bekas luka terlalu lama.
Citrani lupa caranya sakit hati seperti manusia.
Yang ia tahu itu hanya luka tak sengaja. Lalu kembali
tertawa.
Padahal tawanya hampa.
Tak ada yang mengingatkannya bahwa menangis itu tidak apa.
Di suatu petang, Citrani dan Gra bertemu.
Lelaki yang langsung merebut pusat dunianya sejak pertama
tatap saling cumbu.
Yang pertama membuatnya merasakan cinta malu-malu.
Dan bagaimana kehadirannya bisa membuatnya terpaku membisu.
Untuk pertama kalinya Citrani bergerak lebih lambat.
Ia tak terburu-buru melumat.
Tak ingin waktu menikmati Gra segera kiamat.
Citrani anak semesta. Sebagai Ibu ia melihat anaknya jatuh
cinta.
Dibukakan jalan selebar galaksi menuju Gra.
Citrani dan Gra. Bersama.
Malam kini tak pernah melihat Citrani sendu sendiri.
Hampanya kini ubah menjadi tawa.
Tariannya kini lebih menghentak, tak hanya gemulai lesu
kakinya yang layu.
Tubuhnya bergelimang debu bintang.
Citrani jatuh cinta. Semesta kegirangan bahagia.
Gra bak pupuk untuk akarnya yang layu.
Menumbuhkan bunga bagi jiwa yang mengawang di tanah fana.
Semesta terharu.
Sinar matahari yang mengintip dari tirai tiap pagi.
Saksi bisu dekapan erat Gra pada Citrani.
Senyum tipis tak sadar diri
Ketika keduanya masih saling rengkuh dalam mimpi.
Cangkir-cangkir bisu wadah kopi adalah saksi.
Bagaimana Gra dan Citrani saling berbagi tawa diantara wangi
uap surgawi.
Saling rebut siapa yang pertama mencicipi.
Secangkir kopi beraroma pagi.
Botol-botol bir yang mengisi malam mereka, dengan buihnya
segera mereda.
Karena ada yang lebih bahagia dari jutaan buihnya.
Regukan cepat dan denting tawa.
Berakhir ciuman lama di sela-selanya.
Selimut merah jambu dan kuning yang menyelimuti.
Yang pura-pura tuli.
Ketika Gra dan Citrani mulai berbagi kisah yang mereka
lewati.
Berbagi ciuman lama dalam dekap di ujung hari.
Sebelum mereka berlomba menuju mimpi untuk bercinta lagi.
Untuk sementara waktu, Citrani menikmati waktunya lebih
banyak berjalan daripada berlari.
Karena ada Gra di sisi yang menemani.
Hingga waktu pun tak sadar terlewati.
Gra mulai berlari. Buru-buru.
Kini Citrani yang harus mengingat lagi caranya berlari
hingga kakinya biru.
Ia tersungkur. Gra terbang.
Makin jauh hingga kian mengabur. Hilang.
Citrani hanya bisa menatap dari bumi.
Memeluk kakinya yang kini terlukai sekaligus terkilir nyeri.
Kali ini dalam. Hingga tak mampu ia berdiri.
Angin membelainya semilir.
Pertama kalinya. Citrani menjatuhkan air mata.
Untuk cinta yang ia kira legenda.
Yang ternyata hadir hanya untuk dirinya.
Tapi kini kembali hanya menjadi cerita.
Tertunduk diantara lutut.
Dadanya kosong. Ada yang tercabut.
Entah apa. Yang jelas ia takut.
Gadis ini, Citrani.
Usianya jutaan tahun lebih muda dari Bumi.
Patah hati.
21.11.12
Kisah tirani hidup Citrani
Ini tentang gadis kecil yang hilang.
Menyesatkan diri di padang ilalang.
Bumi yang jalang.
Gadis ini, Citrani.
Usianya berjuta tahun lebih muda dari Bumi.
Rasa ingin tahunya lebih membunuh dari partikel Tuhan di
inti Galaksi.
Jiwanya lebih membakar dari api.
Keberaniannya tak ubah seolah Ia putri sang Dewi Perang Romawi.
Dunia besar dan ia tenggelam dalam penasaran menguasainya.
Matanya membulat melihat luas angkasa.
Matanya nyalang melihat jagat raya.
Ia ingin tahu semua.
Citrani berlari, menjauhi tempat ia lahir dan merangkak
sebagai bayi.
Tak mau kenal berhenti. Ia sengaja hapus kata itu dari diri.
Mengenal arah pun baru. Citrani tak mau tahu.
Yang jelas ia harus pergi kemanapun ia mau.
Lupa bahwa akan selalu ada kerikil yang akan menciptakan
luka,
Dan meninggalkan bilur di kakinya yang kecil. Ia tertawa.
Bak peluru yang terlepas karena seseorang tak sengaja
menarik pelatuk.
Citrani menabrak berbagai macam bentuk.
Menghancurkan sekitarnya terpuruk.
Citrani si gadis kecil keras kepala.
Tak akan percaya ia jika belum jatuh terjerembab hingga terluka.
Ingin ia menangis. Seperti gadis kecil pada umumnya.
Tapi ia lupa caranya.
Maka Citrani tertawa. Seolah tak apa melihat luka bernanah
menganga.
Tak kenal berjalan, meski masih terluka pun terkilir, ia
kembali berlari.
Citrani berhenti.
Di bibir pesisir pantai sexy ia berdiri.
Menoleh sekali.
Ia sadar telah meninggalkan naluri.
Nalarnya telah menguasai diri.
Egonya membutakan hati.
Terpejam diam.
Layung senja mulai membelai merasuki tubuh kecilnya
dalam-dalam.
Ada damai di situ, hangatnya merengkuh raga yang kaku.
Berusaha melelehkan hati yang telah berkarang membatu,
Ia masih terpejam membiarkan layung menyelimuti kelamnya
yang lebam.
Menemukan dirinya sebentar lagi tenggelam dalam kelam.
Citrani masih terpejam diam.
Apa yang ia lakukan?
Labirin yang ia bentuk tak karuan.
Benteng yang lebih tinggi dan tebal dari yang pernah mereka
buat untuk para tahanan.
Citrani menganga. Keheranan.
Luka telah menukarnya menjadi batu berbalut kulit manusia.
Sendu sembilu sudah meramu dirinya menjadi perempuan dengan
tawa semu.
Naluri ia lupakan. Nalar ia mainkan.
Citrani melupakan keseimbangan.
Tetap tak bisa menangis sesenggukan. Citrani meringis miris.
Membelai kulitnya yang kini kecokelatan tak lagi putih.
Sesuatu yang magis.
Ia sentuh dengan ujung kaki ombak berbuih.
Ujung jemari ombak pantai sexy mengajaknya menari.
Mengelitik di bawah kaki.
Angin meraih tangannya untuk berputar seolah ia bagian dari
pentas seni.
Ya, Tuhan sedang ada acara, setiap senja.
Citrani kini saksi mata dan menjadi bagian di dalamnya.
Diam damai tinggal di sana selamanya.
Di antara pesisir dan senja.
Gadis kecil ini, Citrani.
Tetap tak pulang.
Jika kamu ada kesempatan, datangi pesisir paling tersingkir.
Mungkin kamu bisa melihatnya sendiri bagaimana ia menari
dengan kakinya yang masih terkilir.
Subscribe to:
Posts (Atom)