28.11.12

Elegi dalam surat untuk Ibu.

Hai, Bu. Ini ku ketik dari jarak ratusan kilometer dari tempatmu.
Kau pun tak akan pernah tahu ada untaian kata ini dariku.
Ini akan menjadi kalimat panjang yang intinya hanya satu; Aku rindu.
Kau dan aku satu kepala , Bu. Kerasmu pun serupa dengan kerasku.
Dan seringkali kita berdebat seru.
Berakhir tawa atau kau cemberut padaku.
Seringkali kubuat kau gemas karena sikapku.
Sengaja, Bu. Aku ingin menggodamu.
Agar kau akan segera merindukanku ketika aku jauh darimu.

Bu, kita sedang sama-sama berjuang.
Di tempat berbeda berjarak panjang.
Tak bisa saling pandang pun saling tatap hingga petang.
Tak bisa dengan mudah saling kunjung kala rindu menyerang.

Bu, gadis kecilmu sedang berusaha tegar.
Melawan gerimis pun badai besar.
Sebagian dirinya hanya ingin berlari pulang ke pelukanmu yang lebar.
Tinggal di sana hingga Tuhan berkata hidupnya sudah kelar.
Tapi kenyataan akan selalu berbeda dengan angan yang tak masuk nalar.

Bu, aku rindu lingkar lenganmu saat kau memangku aku
Bak kembali menjadi bocah kecilmu aku menyurukkan kepala diantara lehermu.
Diantara rambutmu yang wanginya selalu begitu. Tak berubah sejak dulu.
Bu, sadarkah gadis keras kepala ini mencintaimu?


Bu, aku rindu mendengar ceritamu.
Kau tahu? Semua kisah tentang apapun menjadi menarik ketika itu keluar dari mulutmu.
Disela asap rokok kita yang tak serupa.
Kisah untuk kita tertawakan pun renungkan untuk pelajaran hidupku.
Bu, sadarkah ketika kau bercerita kau terlihat bahagia?

Ibu, aku adalah anak pada umumnya.
Menginginkanmu bahagia. Meski terlalu sering aku membuatmu memijat kepala.
Bu, aku anak nakalmu.
Tetapi dengan segenap kenakalanku. Aku menyayangimu.
Sungguh, Bu.
Sungguh.

Sebenarnya segala aksara acak ini hanya berinti satu.
Elegi ini untukmu.

No comments:

Post a Comment