19.1.13

Simfoni tak bertuan.


Astaga! Pen. Hahaha. Aku mendadak langsung malu sendiri, pipiku panas. Aku masih ingat ciuman lembut cepat berirama Crescendo dan kita adalah sang pemimpin orkestra bagi rima bibir kita. Lalu sepersekian detik setelahnya, kakakku muncul. Ah aku harap ia tidak melihat itu karena aku tidak mau dia iri karena aku punya seseorang yang mampu menjelaskan nirwana hanya dengan lumatan bibirnya.
Aku mengingat semua hal yang pernah terjadi pada kita ketika kita masih menjejaki tanah yang sama sayang. Tunggu, bulan depan kamu libur. Dan kamu berjanji akan mampir ke rumahku. Aku benci kenyataan bahwa aku masih harus bertemu dengan aksara-aksara yang tak kunjung usai antara kita. Namun apalah daya, hanya ini satu-satunya cara kita berbicara selain Skype yang sangat jarang kita lakukan. Hanya di sini kita lebih jujur dari biasanya.
Jujur pada sebuah monolog, sebuah percakapan khayalan yang aku lakukan denganmu.

Malam ini aku menuliskan serangkaian kata ditemani nyanyian semesta. Hujan sedang riuh-riuhnya di luar, dan petir tak mau kalah saling sambar. Aku ingat suatu mendung beberapa hari sebelum keberangkatanmu ke kota itu, kamu demam tinggi, lalu aku merawatmu. Kamu tak mau aku tinggal bahkan hanya untuk ke toilet saja kamu merajuk. Aku masih ingat perasaan hangat yang menyusup, menyelinap ke dalam dadaku. Perasaan tentang tak ingin ditinggalkanmu. Dan malam itu, kita tertidur dalam pelukan dinyanyikan merdu hujan di luar rumahmu. Persis seperti malam ini. Hanya kurang kamunya saja.
Padahal aku sedang di rumah, tapi rasanya aku ingin pulang. Aku ingin melipat jarak yang memisahkan kotamu dan kotaku, kemudian menyulam doa untuk kujadikan kendaraan menuju pelukanmu.
Aku sering merasa hilang kala aku sangat lelah menjalani hari dan tidak bisa menemukanmu dekat denganku seperti biasa. Aku tidak bisa langsung menemuimu dan menyurukkan kepalaku dalam rengkuhanmu yang nyaman.
Ingat? Pernah suatu hari aku marah-marah seharian hingga kamu pun kesal denganku, dan kebiasaanmu. Semarah apapun kamu padaku, kamu tidak pernah berhenti memperhatikanku. Aku lupa kenapa aku saat itu, yang jelas paginya aku batuk dan kamu membawakanku obat batuk. Padahal saat itu kita belum berbaikan. Kamu masih kesal padaku. Kita baikan karena obat batuk, Pen. Pasangan mana yang seaneh kita? Dan aku bangga pasangan itu adalah kita. Pasanganku adalah kamu.
Sayang, aku tahu. Sunyi tak selamanya indah. Namun kadang, dengarkanlah nyanyian sunyi di gendang telingamu. Gending magis tentang kerinduan tak terperi. Kamu akan mengerti bahwa disini, rinduku pun menjerit sekeras sunyi.
Warna piyamamu? Tidak jauh dari abu-abu sayang. Tak jauh berbeda dengan warna dadaku saat ini. Tak berbeda dengan rundung mataku kala ini, ia bersiap hujan lagi, seperti di luar. Kamu adalah segala melodi di simfoni hidupku yang hilang, Pen. Kamu melengkapi rongga-rongga tak sempurna dalam hidupku, pun kamu, adalah doa-doa yang mengisi sela rintik hujan. Meski kini aku adalah simfoni tak bertuan, hingga nanti kau tiba lagi untuk sebuah pertemuan. Aku tak akan menghentikan melodi tak sempurnaku atas kamu. Hingga kamu melengkapiku lagi, sayang.
Pen.. Pintaku satu, jangan biarkan jengah merajah hatimu atas aku.

No comments:

Post a Comment