21.1.13

Kabut asap pada dada.


Pertanyaanku hanya satu, Pen. Kenapa kamu harus manis sekali? Ya aku menghitung berapa banyak kangen di suratmu, dan aku mengukir senyummu pula kala kamu mengucapkan itu. Sisa-sisa kenangan tentang kamu di kepalaku. Tak usang, cuma sudah cukup pudar. Namun bukan berarti cintaku padamu berhenti berpendar.
Duh, kamu, jangan sampai kamu terlambat makan loh. Ingat kamu punya maag, aku tidak bisa membayangkan jika kamu harus jatuh sakit dan aku tidak bisa ada di sebelahmu saat itu terjadi. Ku mohon, walaupun terik setidaknya jangan sampai kamu melalaikan makanmu ya.

Astaga, aku terdengar seperti ibu-ibu sekarang.

Satu hal yang kamu perlu tahu, matamu ketika kamu menghisap tarikan rokok pertama dan menghembuskan asapnya, adalah sebuah gambaran tentang indah bagiku. Kini dan nanti. Aku masih memutar ulang film yang sama di dalam kepalaku, dan aku tidak sabar untuk kembali melalui waktu yang sama. Kamu dan aku. Entah di halaman belakang rumahmu, atau di sebuah beer house tempat kesukaanku di bilangan Selatan. Menghabiskan waktu lebih banyak bersamamu, tertawa dan tenggelam dalam pembicaraan tak habis-habisnya.

Hahaha. Aku pikir kamu kesal sekali jika aku menjawabmu dengan alis terangkat? Katamu wajahku akan berubah jadi ibu-ibu jutek di sinetron yang kamu benci? Tak kusangka itu yang kamu rindu. Aku heran, bagaimana bisa kamu sabar bertahan dengan aku selama ini dan tak berniat sedikit pun pergi dariku. Padahal aku sadar betul jika sedang bertengkar aku bisa sangat keras kepala dan menyebalkan. Terimakasih, kamu mencintai keburukanku, Pen. Tak pernah ada yang berhasil menghadapiku seperti kamu.

Sayang, kalau mau bicara pikiran-pikiran tak bertanggung jawab. Jangan kira aku tidak khawatir dengan kamu di sana. Aku tidak ada pada setiap harimu tidak seperti dulu. Aku tidak lagi bisa makan siang bersamamu, entah dengan siapa di sana kamu biasa menyantap makananmu pagi siang dan malam. Aku bahkan tak mengenal bagaimana lingkunganmu di sana. Hanya sedikit temanmu yang aku tahu. Sesungguhnya itu menggangguku. Hanya saja, ketika kita bercengkrama, rasanya aku lebih memilih menghabiskan waktu merindukan kamu daripada harus memulai sebuah pertengkaran atas kecemburuan tak berdasar. Aku percaya kamu tidak akan mengkhianati sebuah percaya yang telah kita bangun bersama sejak lama. Ya kan?

Tenang saja sayang, satu-satunya orang yang akan aku bakarkan rokoknya adalah kamu. Satu-satunya orang yang akan melihatku mencembungkan pipi ketika aku kesal hanya kamu. Cuma seorang kamu yang akan tahu bagaimana aku yang sesungguhnya. Biarlah mereka selalu melihatku sebagai pribadi ceria, tetapi denganmu. Bahkan aku ingin kamu mengenal hal tergelap dari diriku. Kamu adalah rumah, satu-satunya tempatku berpulang. Dan satu-satunya pelukan yang aku tahu tidak akan hilang.

Aku tidak pernah mencintai seseorang sebesar ini sebelumnya, entah apa yang kau lakukan padaku. Semua terasa benar. Pertengkaran tak pernah menjauhkan, tak kunjung pula mengecilkan rasa. Bahkan ketika jarak memisahkan kita. Tak ada ragu untuk menjalani segalanya bersamamu meski tak setiap waktu kita berdua. Ah, aku tidak pernah tahu. Mencintai seseorang bisa membuat aku jadi senaif ini.
Jangan meragukanku, jangan meragukan kita. Seperti halnya aku tak pernah sekalipun melakukan itu.

No comments:

Post a Comment