17.1.13

Oase rindu.

Hai, Pen...
Kamu memulai surat ini langsung dengan pancingan nostalgia. Nakal ya. Aku jadi merindukanmu lebih dari yang sudah ku lakukan.
Hari pertama kita bertemu? Bagaimana kumalnya aku sepulang kerja ditambah kehujanan pula ke acara teman kerjaku yang ternyata teman SMA kamu itu? Hahaha, aku hampir tidak mau ikut kau tahu? Kalau tidak karena ancamannya yang gila itu, kau tahu sendiri bagaimana dia kalau sudah punya mau. Keukeuh ceuk urang teh. Ya Tuhan, aku mengingat lagi rambutku yang lepek minta ampun saat itu. Hahaha. sungguh mengherankan kamu bisa jatuh cinta padaku hingga saat ini, Pen. Mungkin kamu gila? Hahaha.

Sial, kamu jauh saja membuatku tertawa hanya dengan sepenggal kenangan.
Oase kecil menggenang pada pelupuk mataku kini. Hal lucu tentang sebuah kenangan, terasa begitu dekat namun sebenarnya sudah lewat berapa masa dan hanya berputar-putar seperti sebuah piringan hitam usang pada kepala. Satu-satunya hal yang menyakitkan dari kamu adalah, aku hanya bisa merengkuhmu dalam kenanganku. Aku hanya bisa menghirup sisa-sisa aromamu yang tertinggal pada jaket yang ku bawa terakhir kali kita bertemu. Sudah, hanya sebatas itu. Cukup untuk persediaan hingga pertemuan berikutnya.

Kita sedang dalam perayaan, sayang, perayaan bersama melalui tarian aksara. Melalui kenangan-kenangan yang terajut indah di dalam masing-masing kepala, parade riuh hingga hati. Tentang hari-hari yang kita lalu, jalan-jalan di mana serpihan kita masih mengkristal jelas di tiap sudutnya. Kita sedang bersulang dengan cara kita sendiri sayang, menuang ingatan dalam gelas tinggi bernama penantian kemudian kita bersulang dengan udara. Menyesap, menikmati manis pada lidah dan tetap tinggal di sana hingga oase pelupuk mata kita tak lagi kecil dan runtuh. Manis menjadi terasa sedikit asin. Rasa laut yang memisahkan kita 100 Kilometer jauhnya.
Seandainya tangisku meluruhkan samudera, aku rela menguras air mata yang tersisa hingga waktu bertemu denganmu tiba, Pen. Sungguh.

Tidak sayang, ini bukan siksaan. Jangan begitu, nanti kamu malah terbeban dan ingin cepat-cepat mengakhiri jarak yang sebenarnya tak buruk-buruk amat ternyata. Walaupun aku harus menabung rindu lebih banyak, walaupun aku harus menangis lebih sering ketika malam-malam aku merindukanmu dan harus menguburkan kenyataan bahwa kamu tak dapat ku temukan nanti ketika pagi menyingsing. Tak ada kamu lagi yang merecoki cangkir kopiku karena milikmu sudah lebih dulu tandas. Tapi aku mencintai kamu dan jarak kita. Jarak adalah cara Tuhan mendekatkan kita, dan memperkenalkan tentang sebuah pelukan pun pertemuan yang jauh lebih indah dari biasanya. Jangan goyah ya sayang. Kita adalah pembenci pun pecinta jarak, antara kepalamu dan kepalaku mungkin sejauh arak-arak awan sepanjang samudera. Namun aku tahu, antara hati kita hanya berjarak ruang kosong pada jemari yang menunggu digenggam lagi pada waktunya.

Pen,
Kamu benar-benar menyebalkan. Aku merindukan kamu.
Aku sangat merindukan kamu sekarang.
Ah. Kamu menyebalkan.

No comments:

Post a Comment