15.1.13

Rindu Berbalas.

Hai, Pen.
Dasar puitisku yang satu ini. Tak pernah berubah sejak dulu. Selalu berhasil membuatku tersenyum sendiri. Ah, aku jadi rindu pada Ibu. Titip kecup hangat pada calon mertuaku, (Aamiin.)
Maaf aku terlambat membalas suratmu, pekerjaanku cukup padat akhir-akhir ini. Dan kabarku baik. Hatiku pun masih baik-baik saja. Meski terkadang jelang malam aku kerap bertanya apa yang selalu kau lakukan sepulang kerja kalau tidak sedang membalas suratku. Mata siapa yang ada dibalik kelopakmu ketika lelah sudah rebah di pelupukmu. Lengan siapa yang menyita khayalmu ketika guling kapuk usang tak lagi mampu mengalahkan rindu pada dekapan yang berdenyut.

Pen, entah sudah berapa lama kita kerap melakukan hal yang sama. Hanya saling curah lewat kata. Jarang bertatap muka, jarang berbagi pelukan mesra pun kecup pada kening menjelang senja. Terimakasih untuk tidak pernah sedikitpun meragukanku. Pun bagimu, terimakasih kamu sadar akan mahalnya percaya dan kau menjaganya dengan seluruh jiwa.

Aku tahu, Pen. Aku bukan satu-satunya hal indah yang semesta dapat tawarkan kepadamu. Masih banyak indah lain yang manisnya lebih dari setetes madu. Yang pesonanya seolah gambaran Nirwana. Tapi semoga, kamu tidak pernah berpaling dariku, meski aku tidak semahadaya yang kau inginkan. Aku ingin menjadi surga kecilmu di dunia.

Pen..
Aku tidak akan mengucapkan,"Aku masih mencintaimu." karena aku tidak pernah berhenti melakukannya sejak pertama hati kita rebah di genggaman yang sama.
Aku selalu mencintaimu, sayang.

No comments:

Post a Comment