13.1.13

Mozaik Sepagian

Jika apa yang mereka sebut rumah tak lagi dapat kau sebut rumah. Akan ke mana kau melarikan tubuhmu yang lelah? Akan kemana kepala-kepala pening atas segala terpaan hidup kau rebahkan?
Kamu adalah manusia dengan segala bentuk kekurangannya. Lengkap dengan rasa tidak aman yang kerap menghantui. Hati patah namun tak pernah menyatu tapi seolah ia bangkit lagi. Lalu akan pulang ke mana ia jika pelukan ramah tak di temukan dalam sebuah rumah?
Rumah adalah rimba yang lain. Rimba kecil dibandingkan liar kejam kota-kota yang kau tempati. Rumah adalah kolam kecil yang kau kenal setiap jengkal seluknya sebelum kau merenangi kolam yang lebih luas, yang kini kau pikir duniamu. Padahal, kau tak lebih dari penghuni rimba dan kolam kecil tempatmu beranjak tua. Bukan dewasa. Pilihanmu. Mau jadi apa ketika kau beranjak kelak. Kau akan berkubang di kolam kecilmu sekali lagi, menuakan manusia lain. Memapas rimbamu, membuat gubuk dan perapian, tinggal sekali lagi di sana, kali ini dengan atau tanpa manusia yang harus beranjak menua. Siklus riil.
Kalau menurut sebagian orang setan ada di sela buih bir. Ku rasa mereka belum pernah merasakan getir yang sungguhnya akrab dengan kecap rasa setiap harinya, setiap detiknya, setiap tarikan nafas dalam degup berima pertanda nyawa masih ada pada rongga raga. Mungkin mereka telah mencoba sekecap dua kecap, memutuskan tidak suka karena pada dasarnya hidup mereka lebih pahit dari apa yang mereka rasa di lidah. Mereka memilih tidak suka, tapi mencaci maki di dalam kepala. Mereka memilih tidak mengakui dan bersembunyi pada topeng paling murah semesta, senyuman.
Bicara setan, ia ada di bilik-bilik kepalamu, menyelinap di dalam sel-sel otakmu. Menanti waktu yang tepat menggelapkan secercah sinar yang tersisa pada kepala semuram langit Januari kali ini. Mengancam hati rapuh yang tertatih percaya kemudian patah lagi dalam hitungan kerling mata jahanam setan dalam sekejap saja. Padam.
Bagi sebagian orang, bahagia ada di dalam bir yang baru di buka. Atas buih riuh reda pada leher botol-botol dengan denting akrab pada gendang telinga. Dendang dengan ceritanya sendiri-sendiri, saling berbagi dalam sunyi. Asap-asap terhembus dari bibir-bibir dengan kisah masing-masing, yang lebih memilih dijejali tawa daripada kisah-kisah getir dan kejam tentang dunia.
Tuhan ada di dalam bir. Malaikat berpesta di buih-buihnya. Aku bergelayut di leher botol, menikmati diriku sendiri. Persetan dengan kalian.
Pagi ini tak ada bir, tak ada kopi, tak ada teh yang ada hanya susu. Pagi ini tak ada nasi goreng buatan ibu, setangkup roti keju atau bubur ayam gerobak depan rumah. Pagi ini hanya ada susu.
Pagi ini ada yang sedang meratap kaus kakinya masih basah. Sepatunya pun. Seragamnya masih basah, padahal ia harus sekolah. Lupa ambil laundryan baju padahal mau berangkat ke kampus. Merutuki hujan, yang membuat tidurnya makin pulas hingga ia bangun kesiangan. Ada yang seharusnya berangkat ke bandara sejak berjam-jam yang lalu. Ada pun telah duduk manis menanti penerbangannya di Boarding Room. Sementara yang lain mengecek ulang barang untuk flight nanti sore menjelang petang. Sepagian ini, entah ada berapa tangis yang pecah karena berbagai macam hal yang ada dalam kotak semesta. Pun tawa yang tergelak, kelakar untuk mengawali hari hingga bagaimana akhirnya nanti. Ada pula yang mengelus dada pagi buta sudah memuntahkan cacian dan serapah.
Hujan cukup deras turun pagi ini. Mengiringi doa-doa baik dalam memulai hari.
Mengamini permohonan-permohonan hati yang diam-diam terucap dalam kuluman senyum termanis.
Membelai hati yang menangis namun tetap bertopengkan senyum termagis. Karena ia lupa sesekali jatuh sesenggukan tak apa. Dan sesekali melupakan cara seolah lupa menangis yang selama ini tertanam pada kepala.
Hujan cukup deras turun pagi ini. Meluruhkan luka yang tertoreh tengah malam buta hingga menjelang pagi. Cukup deras untuk menyamarkan bekasnya. Cukup deras untuk membasahi tetes darah dari sobekan perih lama dan kembali dengan topeng lama. Milikku, milikmu pun.
Topeng senyuman. Lakon-lakon kebahagiaan.
Selamat pagi pelaku sandiwara semesta. Selamat berperan sebagaimana mestinya.

­

No comments:

Post a Comment