Jika apa
yang mereka sebut rumah tak lagi dapat kau sebut rumah. Akan ke mana kau
melarikan tubuhmu yang lelah? Akan kemana kepala-kepala pening atas segala
terpaan hidup kau rebahkan?
Kamu adalah
manusia dengan segala bentuk kekurangannya. Lengkap dengan rasa tidak aman yang
kerap menghantui. Hati patah namun tak pernah menyatu tapi seolah ia bangkit
lagi. Lalu akan pulang ke mana ia jika pelukan ramah tak di temukan dalam
sebuah rumah?
Rumah adalah
rimba yang lain. Rimba kecil dibandingkan liar kejam kota-kota yang kau
tempati. Rumah adalah kolam kecil yang kau kenal setiap jengkal seluknya
sebelum kau merenangi kolam yang lebih luas, yang kini kau pikir duniamu.
Padahal, kau tak lebih dari penghuni rimba dan kolam kecil tempatmu beranjak
tua. Bukan dewasa. Pilihanmu. Mau jadi apa ketika kau beranjak kelak. Kau akan
berkubang di kolam kecilmu sekali lagi, menuakan manusia lain. Memapas rimbamu,
membuat gubuk dan perapian, tinggal sekali lagi di sana, kali ini dengan atau
tanpa manusia yang harus beranjak menua. Siklus riil.
Kalau
menurut sebagian orang setan ada di sela buih bir. Ku rasa mereka belum pernah
merasakan getir yang sungguhnya akrab dengan kecap rasa setiap harinya, setiap
detiknya, setiap tarikan nafas dalam degup berima pertanda nyawa masih ada pada
rongga raga. Mungkin mereka telah mencoba sekecap dua kecap, memutuskan tidak
suka karena pada dasarnya hidup mereka lebih pahit dari apa yang mereka rasa di
lidah. Mereka memilih tidak suka, tapi mencaci maki di dalam kepala. Mereka
memilih tidak mengakui dan bersembunyi pada topeng paling murah semesta,
senyuman.
Bicara
setan, ia ada di bilik-bilik kepalamu, menyelinap di dalam sel-sel otakmu.
Menanti waktu yang tepat menggelapkan secercah sinar yang tersisa pada kepala
semuram langit Januari kali ini. Mengancam hati rapuh yang tertatih percaya
kemudian patah lagi dalam hitungan kerling mata jahanam setan dalam sekejap
saja. Padam.
Bagi
sebagian orang, bahagia ada di dalam bir yang baru di buka. Atas buih riuh reda
pada leher botol-botol dengan denting akrab pada gendang telinga. Dendang
dengan ceritanya sendiri-sendiri, saling berbagi dalam sunyi. Asap-asap
terhembus dari bibir-bibir dengan kisah masing-masing, yang lebih memilih
dijejali tawa daripada kisah-kisah getir dan kejam tentang dunia.
Tuhan ada di
dalam bir. Malaikat berpesta di buih-buihnya. Aku bergelayut di leher botol,
menikmati diriku sendiri. Persetan dengan kalian.
Pagi ini tak
ada bir, tak ada kopi, tak ada teh yang ada hanya susu. Pagi ini tak ada nasi goreng
buatan ibu, setangkup roti keju atau bubur ayam gerobak depan rumah. Pagi ini
hanya ada susu.
Pagi ini ada
yang sedang meratap kaus kakinya masih basah. Sepatunya pun. Seragamnya masih
basah, padahal ia harus sekolah. Lupa ambil laundryan
baju padahal mau berangkat ke kampus. Merutuki hujan, yang membuat tidurnya
makin pulas hingga ia bangun kesiangan. Ada yang seharusnya berangkat ke
bandara sejak berjam-jam yang lalu. Ada pun telah duduk manis menanti penerbangannya
di Boarding Room. Sementara yang lain mengecek ulang barang untuk flight nanti
sore menjelang petang. Sepagian ini, entah ada berapa tangis yang pecah karena
berbagai macam hal yang ada dalam kotak semesta. Pun tawa yang tergelak,
kelakar untuk mengawali hari hingga bagaimana akhirnya nanti. Ada pula yang
mengelus dada pagi buta sudah memuntahkan cacian dan serapah.
Hujan cukup
deras turun pagi ini. Mengiringi doa-doa baik dalam memulai hari.
Mengamini
permohonan-permohonan hati yang diam-diam terucap dalam kuluman senyum
termanis.
Membelai
hati yang menangis namun tetap bertopengkan senyum termagis. Karena ia lupa
sesekali jatuh sesenggukan tak apa. Dan sesekali melupakan cara seolah lupa
menangis yang selama ini tertanam pada kepala.
Hujan cukup
deras turun pagi ini. Meluruhkan luka yang tertoreh tengah malam buta hingga
menjelang pagi. Cukup deras untuk menyamarkan bekasnya. Cukup deras untuk
membasahi tetes darah dari sobekan perih lama dan kembali dengan topeng lama.
Milikku, milikmu pun.
Topeng senyuman.
Lakon-lakon kebahagiaan.
Selamat pagi pelaku sandiwara semesta. Selamat berperan sebagaimana mestinya.
Selamat pagi pelaku sandiwara semesta. Selamat berperan sebagaimana mestinya.
No comments:
Post a Comment