Entah apa yang aku pikirkan. Entah apa yang aku rasakan.
Aksara seharusnya hanya rentetan alfabet mati yang tak dapat menggerakan apapun dalam dada.
Harusnya aksara hanyalah sebuah aksara.
Tidak dapat membuatmu tersenyum.
Marah,
Menangis pun. Tapi ternyata semua sebatas ternyata. Aksara memiliki kekuatan yang lebih besar dari yang aku kira. Atau mungkin karena aku memang terlalu imajinatif hingga kapanpun aku membaca apa yang kau muntahkan dari kepala, seolah itu adalah titah raja. Seolah itu adalah kidung paling magis di alam semesta.
Aku tidak mengenalmu, hingga kini pun. Aku belum mengenalmu meski nama sudah saling simpan di kepala.
Tapi hidup yang aku jalani masih begitu. Tak berubah meski kamu telah perlahan menyelinap di antaranya.
Kamu adalah satu dari banyak pecahan manusia, tak sengaja masuk. Tak berencana ambil andil.
Meski kamu kini jadi berarti.
Aku jatuh cinta padamu melalui aksaramu. Pemikiran-pemikiranmu. Sabda-sabda seolah doa yang terucap dari bibirmu yang candu.
Entah kamu ini siapa? Asalmu darimana, hidupmu seperti apa. Tapi mendadak semua tidak penting ketika kata-kata mulai kau curahkan, ketika kamu mulai berbicara.
Berbicara tentang apa saja. Tuhan bersuara melalui mulutmu. Setidaknya itu yang ada di dalam pikiranku. Tapi apalah, kau tahu. Pikiran itu semata dapat menjebakmu sendiri. Mencari pembenaran sendiri atas apapun yang kamu masalahkan di dalam kepala.
Tapi entah, Tuan.
Kamu berhasil menitikkan air mata. Bahkan ketika kamu tidak bersuara. Bahkan ketika kita tak bertatap muka.
Tak hanya kamu yang candu, aksaramu pun begitu.
No comments:
Post a Comment