24.12.12

Tentang banyak hal.

Entah ada candaan apa lagi yang Tuhan atur di balik pertemuan kita.

Aku pecinta aksara. Dan melaluinya aku mencintaimu.
Aku pun mencintaimu melalui lisan-lisan yang lebih suka ku jadikan tulisan.
Aku lebih suka memagut bibir untuk mengatakan segalanya.
Aku lebih suka remas di pinggang daripada di dada.

Aku tidak pandai berbicara. Aku tak terlalu pandai jua berkata-kata.
Tapi ada kejujuran di sela tulisan-tulisanku. Mengenai kamu mengenai bukan kamu.

Cerita-cerita kisah cinta. Bibir-bibir silih berganti pernah mampir.
Pelukan satu ke pelukan yang lain.
Namun hilang terbawa angin.
 Sesungguhnya jika bisa, aku lelah untuk kembali mencintai dan kehilangan.
Kalau boleh ku ketuk pintu rumah Tuhan kalau ia punya. Aku ingin berpasrah saja pada pilihannya.
Tapi tidak ada hal semacam itu. Dan Tuhan tidak punya alamat.

Kita bertemu, ketika kaki sudah lelah melangkah. Dan tubuh sudah lelah hanya rebah kemudian beranjak lagi.
Aku tidak percaya pertanda, aku tidak percaya kebetulan. Itu hanya ilusi-ilusi yang dijadikan pembenaran.
Jika harus begitu, maka seperti itulah yang Tuhan atur entah darimana.
 
Aku percaya, kamu adalah sebaik-baiknya bukan orang baik. Karena kamu mengakuinya.
Aku pun, ku akui, aku pelaku duka, penikmat luka, pecandu patah hati. Aku perempuan sendu dan aku nikmati segala mendung yang merundung kepalaku. Aku menyakiti, aku melenggang pergi. Aku mencintai, kemudian aku perlahan melepaskan diri. Entah ada berapa orang yang menjadi pecandu patah hati dan mereka tidak sadar diri.
Segala kisah tentang itu selalu bermuara pada, apa sebenarnya yang kamu cari. Sudah.
Kamu tidak akan menemukan orang yang sama dengan sebelumnya di orang yang berikutnya. Tapi kamu terus menerus demikian. Untuk apa membuang waktumu?
Mudah saja, jika kamu hanya butuh teman tidur, kamu bisa pilih siapapun. Urusan ranjang tidak melulu membutuhkan hati. Ia hanya butuh uang, kamar dan selangkangan. Dan kamu pun tidak perlu berpikir apa yang dirasakan teman tidurmu. Bukan urusanmu pun. Yang penting kalian berdua ngangkang dan sama-sama senang. Ya kan?
Tapi ayolah, kita tahu rasanya, bagaimana tak ada pulang ketika raga meretas lelah.
Tak ada rentang pelukan di pintu ketika malam menjelang.
Pun elus dari belakang ketika punggungmu sakit di hantam Ibukota yang kejam.

Kemarin aku merasa sedikitnya hidup kembali.
Karena ciuman-ciuman di pipi. Bicara panjang-panjang kamu dengan teh, aku kopi.
Kenyataan yang membuatku hampir berlari. Menamparimu, menyirammu kopi, kemudian ku tinggal pergi dan melupakan fakta kamu pernah ada di bumi.
Tapi tidak. Nyatanya aku mendengarkanmu seksama, mencerna segala halnya.
Perihal anu itu. Intinya perihal kita.
Aku menjadi seorang yang bukan aku. Kamu ibarat sabda Tuhan yang tidak dapat aku sangkalkan.
Kamu adalah pengacau sistem nalarku. Naluriku mati ketika tatap beradu.
Aku ingat, dulu-dulu, mungkin sebulan lalu. Kamu pernah memberitahuku sesuatu tentang bahagia, tentang kita, tentang suka. Tentang bagaimana nanti akan ada duka, dan akan ada sesumbar di telinga. Kamu tidak mau kehilangan bahagia. Aku pun tidak mau kehilangan kita. Biarlah nanti satu-satunya kehilangan adalah dengan cara yang sekejam terpisah raga, ketika salah satu dari kita lebih dulu tiba di pelukan Sang Ia.
Mungkin karena itu aku tidak berlari. Mungkin karena itu aku tidak meninggalkanmu dan menanggalkan rasa di ceceran langkahku.

Aku mencintaimu dengan segala realita. Dengan nyata. Aku tidak akan menjanjikanmu dunia akan selalu bahagia. Aku tidak akan menjanjikanmu tak akan ada tengkar di antara kita. Tapi, di antara hal-hal itu, maukah kamu jadi ia yang bersamaku menertawakan segalanya? Menjadi yang bersamaku bahwa ketika kita melangkah kemudian badai menerpa adalah tidak apa-apa kemudian kita menari seraya membenahi sisa-sisa di bawah kacau sapuannya?
Jika iya, silahkan raih. Tangan hati semua sudah terulur di tangan kanan. Dan kamu akan merenggutnya dengan tangan kiri seperti malam itu.
Jika tidak, setidaknya aku tahu aku masih bisa mencinta.


Ah, entahlah. Racauan kacau. Tak usah diambil pusing. Aku hanya sakau.

No comments:

Post a Comment