Aku sedang terduduk seorang diri.
Di sebuah tempat makan yang baru buka di daerah Selatan Jakarta. Tempat para
kekinian bilang gaul, katanya.
Berkonsentrasi dengan bakso nikmat
dihadapanku. Lapar. Sejak siang aku mengantuk dan belum makan. Ku putuskan bakso
pedas ini menjadi ganjalan. Mata pun perut.
Pukul lima lewat tiga puluh sekian.
Aku tidak peduli dengan langit yang
ada di atas kepalaku. Tak ada yang menarik dari langit Ibukota yang mendung
berdebu. Tak ada yang bisa di lihat dari gumpalan awan-awan mendung mengabu.
Maka tak sekalipun aku tengadah kepalaku, Mangkuk bakso jauh lebih menarik dari
itu.
Kepedasan. Aku terlalu banyak
menyendok cabai ke dalam mangkuk yang memerah kini. Membuatku merindukan senja
di Pantai Pandawa.
Dan ketika kutengadahkan kepala
untuk menyeka keringat. Seolah dihadapanku bak surga bersanding khayalan perihal warna layung yang aku rindukan saja.
Tuhan memainkan jemarinya, menarikan molek rona besar-besar di
atas langit Jakarta. Gradasi warna semesta. Spektrum Tuhan yang tetap tak
bisa membuatku berhenti terpana.
Aku ternganga. Berlari, menuju lantai teratas gedung tiga lantai di tempat ini. Urusan boleh
tidak boleh, aku tidak peduli. Bisa di urus nanti.
Tangga demi tangga ku loncati bak
menari demi tak ingin tertinggal acara Tuhan yang terjadi setiap hari. Jujur
saja aku sudah tak melihat senja berhari-hari dan aku sakau. Tak bisa
menitipkan tiap doa di sisipan desau nafas yang tertuju untuk engkau.
Kakiku menjejak di lantai teratas.
Aku tak bisa berdusta. Aku mendadak menjadi pendusta paling pandir di hadapan
karya Sang Maha Esa.
Aku malu. Ku pikir langit Ibukotaku
hanya terselubung debu abu, dusta semu dari para mereka pemimpin Negara yang
dielu-elu. Yang digantungi mimpi dan harapan lebih tinggi dari Nirwana ketujuh.
Sungguh aku tidak menyangka, dapat
ku temukan sapuan tangan Tuhan sang Mahadaya pada langit rumahku, di Jakarta.
Ibukota.
No comments:
Post a Comment