18.12.12

Senja Pukul Lima.

Pukul lima, di jam tangannya. Sudah batang rokok kesekian yang hanya ia bakar kemudian ia diamkan. Begitu terus hingga rokok kesekian. Angin menghisap asap-asap nikotin beracun namun candu itu.
Pukul lima sepuluh, di jam tangannya. Mata menerawang lepas ke labuda di hadapan sana. Memperhatikan ombak-ombak centil gemulai di atas tubuh sang lautan. Seperti perempuan centil yang menggerayangi tubuh sang kekasih.
Pukul lima, dua puluh lima. Ia selalu mengenakan pakaiannya paling kelabu yang itu-itu saja. Pakaian hitam sepekat malam. Gradasi biru sepekat laut. Kali ini ia hisap dalam rokok hingga terhimpit paru kotor dengan asap nikotin. Kemudian dihembuskan perlahan. Seolah asap itulah senyata nafas titipan Ilahi.
Pukul lima, empat puluh. Pelupuk mata terjatuh. Seketika gelap. Ia menatap ke jiwa yang pengap. Pengap dengan semua pertanyaan tentang apa yang ia lakukan seorang diri di pesisir paling tersingkir. Kenapa tidak di rumah saja menatap keluar jendela dan menikmati bercangkir-cangkir kopi getir? Kenapa harus selalu di sini? Seorang diri dan sedang patah hati. Di dekat dua pasangan berlumur madu cinta duniawi. Untuk apa ia patah hati? Punya kekasih saja tidak. Yah, tidak. Tetapi seingatnya, ia pernah punya.
Kekasih yang ia cinta sesering nafas terhela. Seperdetik jantung berdetak. Seorang yang menjadi alasan segala mimpi di ujung hari. Dan tangis rindu di malam sunyi. Poros hidup sebagai matahari dan bumi. Yang kemudian hilang dijerat cinta lain penuh racun manis berbalut ilusi. Sang kekasih tak kuat diri.
Pukul lima, lima puluh lima. Semburat merah muda kebiruan di langit sana mengingatkan pada pipinya sendiri. Pipi memar ditampar oleh kekasihnya ketika mempertahankan agar ia jangan pergi. Tak ada hati luluh seperti kisah roman-roman yang ia baca. Tak ada tangis sesenggukan menyesal. Tak ada pula rengkuh tiba-tiba ketika ia lihat tangis meleleh di dari hulu mata. Tidak ada. Ia tetap pergi. Setelah melayangkan tangan ke tubuhnya. Pukul yang sama, suatu senja di suatu masa.
Pukul enam.
Matahari sudah mati suri. Kuburannya laut lepas. Penggali kuburnya adalah Tuhan sendiri. Iringannya langit dengan lukisan warna paling biadab yang memanjakan mata.
“Sayang, yuk. Matahari sudah terbenam.” Ucap seorang perempuan dengan rambut terurai indah pada pria disebelahnya. Mata bulat besar, mengundang siapa saja yang menatap rela berendam selamanya di dalam sana. Tubuh sintal, seolah Tuhan dan malaikat benar-benar sedang bersuka hati ketika menciptakan perempuan berbalut bikini merah muda pastel ini. Sang pria dengan saying menarik pinggang si perempuan kemudian mengecup bibir di bawah langit senja yang mengabu. Warna-warna Tuhan sudah pudar. Acara senja sudah kelar. Mereka beranjak dari pesisir, menuju rumah mereka di bibir pantai sebelah kiri.
Perempuan berbaju kelabu tak beranjak. Ia menatap, menyaksikan dengan perasaan sama sejak ia tahu dirinya hanya dapat menatap sang pria hanya di kala senja. Ia akan selalu di sini. Dan tak pernah beranjak dari pesisir paling sepi. Tak bisa menikmati saja secangkir kopi getir di beranda rumah. Ia terjebak di antara terbenamnya matahari dan dunia. Yang hanya bisa ia temui saat pemakaman senja. Pemakaman yang sama untuk seonggok raga, ratusan senja lalu. Meski tidak untuk jiwa yang membeku di suatu dimensi waktu.
Perempuan berbaju kelabu memudar, bersamaan ketika senja hanya sisa cerita untuk hari ini. Tetapi ia akan hadir lagi. Di senja yang sama. Pada senja pukul lima. Persis ketika ia dipaksa pergi kekasihnya dari dunia dan dimakamkan pada pukul enam. Tepat ketika senja juga mati.
Perempuan berbaju kelabu, masih mencinta di balik bayang abu-abu senja tak kasat mata. Ia akan selalu kembali pada sang pria kala senja. Dan mati pada pukul enam.

No comments:

Post a Comment