Pukul lima,
di jam tangannya. Sudah batang rokok kesekian yang hanya ia bakar kemudian ia
diamkan. Begitu terus hingga rokok kesekian. Angin menghisap asap-asap nikotin
beracun namun candu itu.
Pukul lima
sepuluh, di jam tangannya. Mata menerawang lepas ke labuda di hadapan sana.
Memperhatikan ombak-ombak centil gemulai di atas tubuh sang lautan. Seperti
perempuan centil yang menggerayangi tubuh sang kekasih.
Pukul lima,
dua puluh lima. Ia selalu mengenakan pakaiannya paling kelabu yang itu-itu
saja. Pakaian hitam sepekat malam. Gradasi biru sepekat laut. Kali ini ia hisap
dalam rokok hingga terhimpit paru kotor dengan asap nikotin. Kemudian
dihembuskan perlahan. Seolah asap itulah senyata nafas titipan Ilahi.
Pukul lima,
empat puluh. Pelupuk mata terjatuh. Seketika gelap. Ia menatap ke jiwa yang
pengap. Pengap dengan semua pertanyaan tentang apa yang ia lakukan seorang diri
di pesisir paling tersingkir. Kenapa tidak di rumah saja menatap keluar jendela
dan menikmati bercangkir-cangkir kopi getir? Kenapa harus selalu di sini? Seorang
diri dan sedang patah hati. Di dekat dua pasangan berlumur madu cinta duniawi.
Untuk apa ia patah hati? Punya kekasih saja tidak. Yah, tidak. Tetapi
seingatnya, ia pernah punya.
Kekasih yang
ia cinta sesering nafas terhela. Seperdetik jantung berdetak. Seorang yang
menjadi alasan segala mimpi di ujung hari. Dan tangis rindu di malam sunyi.
Poros hidup sebagai matahari dan bumi. Yang kemudian hilang dijerat cinta lain
penuh racun manis berbalut ilusi. Sang kekasih tak kuat diri.
Pukul lima,
lima puluh lima. Semburat merah muda kebiruan di langit sana mengingatkan pada
pipinya sendiri. Pipi memar ditampar oleh kekasihnya ketika mempertahankan agar
ia jangan pergi. Tak ada hati luluh seperti kisah roman-roman yang ia baca. Tak
ada tangis sesenggukan menyesal. Tak ada pula rengkuh tiba-tiba ketika ia lihat
tangis meleleh di dari hulu mata. Tidak ada. Ia tetap pergi. Setelah
melayangkan tangan ke tubuhnya. Pukul yang sama, suatu senja di suatu masa.
Pukul enam.
Matahari
sudah mati suri. Kuburannya laut lepas. Penggali kuburnya adalah Tuhan sendiri.
Iringannya langit dengan lukisan warna paling biadab yang memanjakan mata.
“Sayang,
yuk. Matahari sudah terbenam.” Ucap seorang perempuan dengan rambut terurai
indah pada pria disebelahnya. Mata bulat besar, mengundang siapa saja yang
menatap rela berendam selamanya di dalam sana. Tubuh sintal, seolah Tuhan dan
malaikat benar-benar sedang bersuka hati ketika menciptakan perempuan berbalut
bikini merah muda pastel ini. Sang pria dengan saying menarik pinggang si perempuan
kemudian mengecup bibir di bawah langit senja yang mengabu. Warna-warna Tuhan
sudah pudar. Acara senja sudah kelar. Mereka beranjak dari pesisir, menuju
rumah mereka di bibir pantai sebelah kiri.
Perempuan
berbaju kelabu tak beranjak. Ia menatap, menyaksikan dengan perasaan sama sejak
ia tahu dirinya hanya dapat menatap sang pria hanya di kala senja. Ia akan
selalu di sini. Dan tak pernah beranjak dari pesisir paling sepi. Tak bisa
menikmati saja secangkir kopi getir di beranda rumah. Ia terjebak di antara
terbenamnya matahari dan dunia. Yang hanya bisa ia temui saat pemakaman senja.
Pemakaman yang sama untuk seonggok raga, ratusan senja lalu. Meski tidak untuk
jiwa yang membeku di suatu dimensi waktu.
Perempuan
berbaju kelabu memudar, bersamaan ketika senja hanya sisa cerita untuk hari
ini. Tetapi ia akan hadir lagi. Di senja yang sama. Pada senja pukul lima.
Persis ketika ia dipaksa pergi kekasihnya dari dunia dan dimakamkan pada pukul
enam. Tepat ketika senja juga mati.
Perempuan
berbaju kelabu, masih mencinta di balik bayang abu-abu senja tak kasat mata. Ia
akan selalu kembali pada sang pria kala senja. Dan mati pada pukul enam.
No comments:
Post a Comment