"Rek kamana neng?"
"Eh, A' Iwan. Rek ka kampus, A'. Aya kuliah tambahan."
"Oh."
"A'a nuju naon?"
"A'a rek ka warung neng, meuli rokok jeung minyak keur Ibu."
"Oh."
Jeda lagi. Percakapan malu-malu yang itu-itu saja. Sudah terlalu sering kami melakukan pembicaraan tak ada pangkal tak ada ujung. Dan kami menikmatinya. Di tepi sungai dekat jembatan yang memisahkan rumah kami, tempat kami biasa berpapasan. Kadang hanya sepatah. Kadang dua patah. Di antara sepatah dua patah yang terasuk hingga tulang ke tubuh desa kami. Tubuh dengan kulit kuning langsat khas sunda kami.
"A' Iwan. Neng indit heula nyak. Sieun mun telat."
Hanya anggukan kecil yang dibalas senyum manis tersipu di wajah indah itu. Wajah yang tidak pernah luruh. Wajah yang selalu muncul di setiap detak jantung dan bilamana mata tertutup. Senyuman paling indah yang pernah Tuhan lukis di wajah seorang wanita.
"Eneng iyatna jalan gede."
"Iya A'. Nuhun."
"Titik!"
Rambutnya tergerai lembut saat menoleh. Terekam dengan indah oleh pantulan air. Terekam indah di otakku.
"Iyatna!"
Tertawa kecil, ia mengangguk.
Kami berjalan berlawanan arah. Tapi sesungguhnya kami tidak kemana-mana. Di sebuah dimensi waktu kami masih di jalanan kecil tepi sungai, masih berbagi pembicaraan sepatah-dua patah yang terasuk hingga tulang ke tubuh desa kami. Masih dengan malu-malu dan percakapan yang itu-itu saja. Tidak berubah. Molekul-molekul air disungai pun tahu apa yang kami rasakan. Kami jatuh cinta. Cinta kami sederhana. Kami hanya perlu bertemu sesekali untuk saling bertukar sepatah-dua patah kata malu-malu. Cinta kami tidak mengenal cemburu. Cinta kami tidak mengenal traktir nonton di Bioskop ataupun pakai uang siapa untuk belanja. Cinta kami tidak mengenal merek mobil. Cinta kami tidak keberatan dengan sepeda. Cinta kami tidak kenal perhiasan. Cinta kami tidak kenal senggama sebelum semua disahkan. Cinta kami tidak mengenal cinta yang lain. Hanya kami. Tidak ada dia. Cinta kami cukup dengan saling tukar curi pandang dan senyuman malu. Cinta kami sesederhana itu. Cinta kami setulus itu. Cinta kami belum terucap, tapi molekul air saksi kami pun sudah tahu. Kami jatuh cinta.
Tanpa Titik aku koma.
Tanpa Titik kalimatku tidak pernah berakhir.
Tanpa Titik cinta kami menggantung tidak ada yang melanjutkan.
Karena hanya Titik yang bisa.
Cuma Titik.
Titik-ku. Jangan pernah kau menjadi Titik untuk malaikat di Surga. Jangan kau lengkapi kalimat lain. Jangan. Karena aku tidak akan pernah bisa mengejarmu untuk memintamu kembali menjadi pelengkapku lagi. Kini kalimatku akan selalu menggantung. Tidak pernah selesai
Tidak pernah selesai
Titik tidak pernah sampai ke kampus untuk kuliah tambahan. Ia lulus.
Lulus dari kehidupan tepat di hadapanku
Tepat dipelukanku
Cinta kami yang sederhana memang tidak cocok dengan mobil. Cinta kami yang sederhana tidak cocok dengan jalan raya. Cinta kami yang sederhana yang belum sempat terucap.
Cinta kami sederhana dan kalimatku tidak akan pernah selesai setelahnya
Hanya Titik yang bisa
No comments:
Post a Comment